Limbah (72), warga Betang Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, saat membuat kerajinan kain tenun ikat. |
SINTANG, KapuasRayaNews.com - Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia tak terkecuali Kabupaten Sintang sudah berdampak tidak baik terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Namun, para pengrajin tenun ikat di Betang Ensaid Panjang Desa Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat menuturkan situasi berbeda.
Para pengrajin tenun yang dijumpai menuturkan tidak merasakan dampak yang signifikan dari pandemi Covid-19. Mereka survive dan bahkan stabil di tengah pandemi Covid-19.
Ibu Limah yang berusia 72 tahun dan tinggal di bilik nomor 10 Betang Ensaid Panjang tersebut menuturkan bahwa produksi dan pendapatan mereka stabil di saat pandemi Covid-19 ini.
"Dalam satu bulan saya menghasilkan 2 kain tenun. Yang lama itu ngikatnya, karena menghabiskan waktu satu bulan. Setelah diikat, lalu ditenun. Kalau menenun tidak lama. 2 minggu selesai satu kain tenun. Harga kain tenun paling rendah Rp800 ribu satu kain. Ada juga yang harganya Rp1 juta kalau yang ikatnya dua kali,” terang Ibu Limah.
Dimana, saya punya anak 6 orang. Semua sudah berkeluarga. Dari enam itu, ada satu orang anak saya yang ikut pelatihan hari ini. Karena dia memang ikut jejak saya menjadi penenun kain ikat. Kami para penenun di sini menggunakan pewarna alami dan kimia. Kalau pewarna alami menggunakan kulit dan buah kayu.
"Kalau kain tenun yang diberikan pewarna alami itu harganya agak mahal satu helai bisa mencapai Rp1,3 juta sementara kalau kain tenun yang diberikan pewarna kimia diberikan harga agak rendah yakni Rp1 juta saja. Selisih harga antara kain tenun yang diberikan pewarna alami dan kimia adalah Rp300 ribu,” papar Ibu Limah sambil terus melakukan aktivitas menenun.
Tapi lanjutnya, kedua pewarna sama-sama diminati oleh pembeli. Disaat corona ini, kami stabil saja, baik membuat kain tenun dan pembeli sama saja saat sebelum dan saat corona ini,” tambah Ibu Limah yang juga bercerita bahwa ada dokter yang memesan kain tenun yang diberikan pewarna alami sebanyak 6 helai kepadanya.
Sama dengan cerita Ibu Limah, penenun lainnya yang sudah lanjut usia, Ibu Pangi yang berusia 83 tahun juga mengaku biasa saja saat pandemi Covid-19 melanda.
“Kami tetap stabil saja baik membuat tenun maupun pesanan. Saya sudah berusia 83 tahun. Jadi saat menenun, saya harus pakai kacamata. Suami saya sudah berusia 90 tahun dan sudah menderita lumpuh dan tinggal di dalam kamar saja,” tutur Ibu Pangi yang tinggal di bilik nomor 9 Betang Ensaid Panjang.
Kepala Desa Ensaid Panjang Kecamatan Kelam Permai Fransisco Heri menjelaskan bahwa Betang Ensaid Panjang ini memiliki 28 bilik. Ia menjelaskan dari 28 bilik ini. 27 bilik diantaranya diisi oleh warga sedangkan satu bilik yang bernama bilik temuai dikhususkan bagi tamu yang akan menginap di Betang Ensaid Panjang. Fasilitas yang ada di Bilik Temuai ada tempat tidur, dapur lengkap, dan WC.
“Sebelum pandemi Covid-19, selalu ada saja tamu yang menginap. Bahkan dari luar Kabupaten Sintang. Kadang ada mahasiswa yang menginap untuk melakukan kegiatan kemahasiswaan. Pernah juga akademisi yang sedang melakukan penelitian, orang bule juga pernah,” tutur Fransisco Heri.
Lanjutnya, disaat pandemi Covid-19 ini, memang pengrajin tenun ikat di Betang Ensaid Panjang ini cukup stabil. Baik itu produksi maupun penjualan stabil saja.
“Stok tenun tidak pernah habis dan selalu tersedia di betang ini. Hal ini dikarenakan para pengrajin tenun ini dibina, dibimbing oleh BUMDes Ensaid Panjang. Ada juga program P2EMAS yang masuk ke sini cukup membantu para pengrajin. Ada juga Koperasi Jasa Menenun Mandiri yang membantu penjualannya,” pungkasnya. (*)
Penulis: Suryadi
Editor: Amrin